Senin, 04 Agustus 2008

ANAK JALANAN SALAH SATU POTRET SURAM ANAK INDONESIA

Beberapa hari yang lalu (27 Juli) kita sedang memperingati hari anak nasional dengan harapan yang sudah mengakar bahwa masa depan anak akan lebih baik ke depannya. Hanya saja hal itu seolah menjadi ironisme belaka jika dibandingkan dengan fakta memprihatinkan kondisi anak bangsa ini. Sebut saja soal anak-anak yang bekerja di jalanan atau pelabelan masyarakat sering menyebut mereka anjal, sebuah pelabelan yang secara tidak langsung membuat mereka terpinggrikan dan berbeda dengan yang lainnya.
Jumlah anak yang bekerja di jalanan setiap tahun bukannya semakin menurun justru semakin meningkat. Di tahun 1998 Dinas Sosial sudah memperkirakan jumlah anak jalanan sudah mencapai 170. 000 orang (Jurnal Perempuan, 2007). Sejak tahun 1999, jumlah anak jalanan di Indonesia meningkat sekitar 85 %. Di DKI Jakarta saja misalnya pada tahun 2002 jumlah anak jalanan diperkirakan sekitar 150.000-300.000. Menurut BPS pada tahun 2002 terdapat sekitar 36. 500.000 anak Indonesia yang masih di bawah garis kemiskinan, 3.488.209 anak terlantar usia 5 sampai 18 tahun, peningkatan jumlah anak yang tidak sekolah dari rentangan usia 13-15 tahun hingga 300%, yang mengakibatkan 2-8 juta anak yang tersebar di 30 provinsi harus bekerja di berbagai sektor termasuk di jalanan (Huraerah, 2007).
Jalanan pada dasarnya bukanlah tempat yang baik untuk perkembangan fisik dan mental anak. Banyak sekali situasi-situasi di jalanan yang dapat membahayakan keselamatan anak dan dapat menimbulkan banyak tekanan kepada mereka. Namun keadaan yang pada akhirnya harus menuntut mereka untuk turun ke jalanan. Soestarso (2004) menjelaskan bahwa semakin banyaknya anak jalanan disebabkan antara lain: dorongan orang tua untuk membangun ekonomi keluarga, kasus kekerasan dan perlakuan salah terhadap anak oleh orang tua semakin meningkat sehingga anak lari ke jalanan, anak terancam putus sekolah karena orang tua tidak mampu membayar uang sekolah, dan makin banyak anak yang hidup di jalanan karena biaya kontrak rumah/kamar meningkat (dalam Huraerah, 2007).
Kehadiran anak-anak di jalanan adalah sesuatu yang dilematis. Walaupun intensitas keterkaitan mereka dengan jalanan sangat bervariasi, mulai dari sekedar untuk menghabiskan waktu luang, hingga menjadikan jalanan sebagai tumpuan dari sumber pendapatan yang membuat mereka bisa bertahan hidup. Namun, sering kali mereka dianggap bermasalah bagi orang-orang disekitarnya. Sebutan anak jalanan sebagai nakal, mengganggu ketertiban dan tidak tahu aturan pun sudah terbiasa terdengar di telinga kita. Acapkali mereka melakukan tindakan yang tidak terpuji seperti sering berkata kotor, mengganggu ketertiban jalan dengan memaksa pengemudi kendaraan bermotor memberi mereka uang walau tidak seberapa, merusak badan mobil dengan goresan benda tajam, mencuri spion mobil, merokok, berjudi, mabuk, bahkan sebagai pengguna obat-obatan terlarang.
Departemen Kesehatan RI bahkan melaporkan bahwa anak yang hidup di jalanan lebih rentan akan terkena Human Immunodeficiency Virus/ Acquired Immune Deficiency Syandrome (HIV/AIDS) dan kini dari 144.889 anak pengguna NAZA (narkotika dan zat adiktif) yang hidup di jalanan, 8.581 anak diantaranya telah terinveksi HIV (Junal Perempuan, 2007). Belum lagi masalah anak jalanan lainnya yang sering menjadi objek kekerasan baik kekerasan secara fisik, emosional, seksual maupun kekerasan sosial.
Contoh kekerasan fisik adalah kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa yang sama-sama bekerja di jalanan atau sesama anak jalanan sendiri seperti dipukul, ditendang, diperintah seenaknya, dijewer, dan lainnya. Diantara mereka juga acapkali menjadi objek kekerasan fisik para petugas ketertiban umum atau Satpol PP dimana sering kali mereka dikejar-kejar, ditangkap dan dipukuli kemudian dilepaskan kembali tanpa ada pembinaan lebih lanjut. Contoh kekerasan emosional misalnya dimarahi, dicacimaki, dibentak, dan bentuk lainnya yang dilakukan baik oleh orang tua, pengguna jalan umum, pekerja jalanan lainnya maupun oleh petugas keamanan.
Kekerasan dalam bentuk seksual pun sudah menjadi bentuk yang tidak asing lagi bagi anak jalanan, seperti pelecehan seksual, pemerkosaan (bagi anak perempuan), dan disodomi (bagi anak jalanan laki-laki). Hasil penelitian Pusat Studi Wanita Universitas Diponegoro menggambarkan lebih dari 28 % anak perempuan di jalanan mengalami kekerasan seksual, diperdagangkan, dieksploitasi demi tujuan pornografi, serta kekerasan berbasis gender lainnya (Jurnal Perempuan, 2007).
Sedangkan kekerasan sosial pada anak jalanan dapat terlihat dari bentuk eksploitasi anak oleh orang yang lebih dewasa seperti orang tua atau sindikat yang bekerja di jalanan. Menurut Hapsari (2007) hal ini biasa disebut sistem bondage dimana anak tidak hanya diminta untuk menyerahkan uang hasil bekerja, tetapi lebih dari itu, mereka biasanya ditargetkan jumlah uang yang harus diserahkan setiap harinya. Apabila jumlah yang ditentukan tidak didapatkan maka anak tidak hanya mendapat siksaan berupa emosional namun juga berupa kekerasan fisik. Bahkan anak-anak yang diekploitasi ini menurut Huraerah (2007) terkadang dibiarkan begitu saja dan tidak dipenuhi kebutuhan hidupnya seperti makanan, pakaian, pendidikan, kesehatan, air bersih, kesempatan untuk bermain dan waktu luang.
Sekarang ini masyarakat seolah sudah mengganggap biasanya menjamurnya anak-anak yang bekerja di jalanan sampai-sampai kita hampir melupakan bahwa disisi lain hidup ini ada sosok yang harus diperhatikan bukan seolah dipinggirikan karena sudah menjadi kebiasaan. Tidak hanya rasa kasihan sesaat dengan memberikan uang yang mereka perlukan namun lebih dari dari itu dan bersifat jangka panjang. Tulisan ini hanya ingin mengingatkan bahwa anak adalah tumpuan masa depan bangsa dan bagaikan sebuah tamanan, harus dorawat dengan baik semenjak dari pucuk hingga menjadi sebatang pohon yang tumbuh dan subur berkembang.