Jumat, 26 Juni 2009

SAVE OUR EART WITH EDUCATION

Kerusakan lingkungan akibat ulah manusia sudah semakin menjadi-jadi. Sebut saja terjadinya pemanasan global yang menyebabkan iklim tidak menentu, peningkatan permukaan laut, suhu yang meningkat tajam, dan gangguan ekologis seperti banyaknya spesies hewan dan tumbuhan yang mati. Selain itu, udara yang mulai terkontaminasi polusi akibat padatnya kendaraan bermotor ataupun asap pabrik industri, air yang tercemar oleh limbah, dan bau busuk sampah yang menumpuk dan dibuang semabarangan membuat seolah bumi ini menjadi tempat yang tidak nyaman lagi untuk ditinggali.
Hal tersebut hanyalah sebagian fakta yang terjadi di bumi ini, data-data statistik menyebutkan bahwa dalam laporan terbaru, Fourth Assessment Report, yang dikeluarkan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yaitu satu badan PBB yang terdiri dari 1.300 ilmuwan dari seluruh dunia, terungkap bahwa 90% aktivitas manusia selama 250 tahun terakhir inilah yang membuat planet kita semakin panas. Sejak Revolusi Industri, tingkat karbon dioksida beranjak naik mulai dari 280 ppm menjadi 379 ppm dalam 150 tahun terakhir dan peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer bumi itu tertinggi sejak 650.000 tahun terakhir. IPCC juga menyimpulkan bahwa 90% gas rumah kaca yang dihasilkan manusia, seperti karbon dioksida, metana, dan dinitrogen oksida, khususnya selama 50 tahun ini, (http://id.wikipedia.org/wiki/Pemanasan_global). Selain itu CGD (Center for Global Development) mengungkapkan bahwa pembangkit listrik merupakan kontributor terbesar penghasil CO2 (sekitar 25 % dari total emisi CO2). CGD mengumpulkan data dari sekitar 50.000 pembangkit listrik di seluruh dunia dan mengumpulkannya dalam suatu database yang disebut CARMA (Carbon Monitoring For Action). Dimana negara terbesar penghasil CO2 adalah Amerika 2.790.000.000 ton/tahun, China 2.680.000.000 ton/tahun, dan Rusia 661.000.000 ton/tahun, sedangkan Indonesia sendiri menempati urutan ke 18 dalam penghasil CO2 yaitu sebanayak 92.900.000 ton per tahunnya. (http://www.acehforum.or.id/daftar-negara-penghasil-t17856.html?s=392d9474ff6889424733138a2ff39a40&)
Hal ini semakin diperparah dengan anggka penggundulan hutan di dunia sehingga membuat efek semakin parahnya kondisi lingkungan. Data menyebutkan angka penggundulan hutan di Afrika, Asia Tenggara, dan Amerika Selatan berlangsung konstan atau mengalami peningkatan lebih dari dua dekade, yang mendorong meningkatnya emisi karbon dan iklim. Di wilayah Amazon di Brasil saja, 7.700 mil persegi hutan hilang tiap tahun, luas ini seluas daerah New Jersey di AS (http://www. geografiana. com/dunia/teknologi/ analisis-penggundulan -amazon-3). Dimana kerusakan lahan saat ini sekitar 30 juta hektar dan diperkirakan akan meningkat sekitar 1 sampai 2% atau 300 ribu hingga 600 ribu hektar per tahun (http:// www.pdpersi. co.id/?show=detailnews &kode =865&tbl=kesling). Bisa dibayangkan bagaimana nasib bumi dimasa yang akan datang jika tidak ada tindakan-tindakan cepat dan preventif untuk mengatasinya. Bahkan, pencemaran terhadap lingkungan diperparah dengan hal-hal kecil yang dilakukan manusia yang tanpa sadar dapat dapat menimbulkan efek jangka panjang. Sebut saja membuang sampah sembarangan, terlalu banyak menggunakan plastik yang jika dibuang tidak akan terurai selama beribut-ribu tahun, pemakaian listrik yang berlebihan, pembuangan limbah rumah tangga ke sungai, pembangunan perumahan yang tidak memperhatikan lingkungan, tidak adanya kesadaran menanam pohon atau tanaman kecil di depan rumah, dan hal lainnya. Ini pada akhirnya membuat kerusakan lingkungan menjadi semakin parah.
Kerusakan terhadap lingkungan tentu saja mempunyai dampak terhadap kehidupan manusia. Polusi udara bisa menyebabkan terganggunya kesehatan, bahkan dalam jangka panjang CO2 yang terus menerus dihirup bisa menyebabkan penyakit kanker dan tumor. Dari studi yang pernah dilakukan di Amerika Serikat oleh The National Institute of Occupational Safety and Health pada tahun 1997 terungkap bahwa satu dari empat karyawan yang bekerja di lingkungan industri tersedia pada bahan beracun dan kanker. Lebih dari 20.000.000 karyawan yang bekerja di lingkungan industri setiap harinya menggarap bahan-bahan yang diketahui mempunyai resiko untuk menimbulkan kanker, penyakit paru, hipertensi dan gangguan metabolisme lain. Paling sedikit ada 390.000 kasus gangguan kefaalan yang terinduksi oleh dampak negatif lingkungan industri dan100.000 kematian karena sebab okupasional dilaporkan setiap tahun (Teringan, 2004). Belum lagi meningkatnya masalah-masalah psikologis akibat kondisi lingkungan yang kurang nyaman, orang menjadi cepat bosan, mudah marah bahkan mengalami stress pada tingkat tertentu.
Dewasa ini sudah semakin banyak kesadaran dan pertahian pada dampak-dampak kerusakan alam dan lingkungan. Banyak masyarakat ataupun aktivis-aktivis lingkungan yang mulai menyerukan bagaimana rusaknya lingkungan karena ulah manusia. Gerakan-gerakan yang terorganisirpun mulai terbentuk, sebut saja organisasi Green Peace, Walhi (Wahana Lingkungan Hidup), ICEL (Indonesian Center for Environmental Law), IUCN (International Union for Conservation of Nature) dan organisasi lingkungan lainnya. Organisasi-organisasi secara pro aktif menyuarakan dan mengambil tindakan penyelematan lingkungan dan pencegahan kerusakan lebih parah. Banyak lapisan-lapisan masyarakat yang sekarang sudah lebih peduli dengan kondisi kerusakan lingkungan. Walaupun perlakuan kecil tapi itu terkadang lebih berarti dari pada menunggu merubah kebijakan industri. Contohnya adalah dengan mengurangi pemakaian listrik yang tidak perlu, berjalan kaki atau naik sepeda ketempat kerja, membawa plastik sendiri saat berbelanja, menanam pohon di sekitar rumah, membuang sampah pada tempatnya, mendaur ulang barang bekas, dan tindakan kecil lainnya. Walaupun masih dalam skala kecil kebijakan-kebijakan pemerintahan di seluruh dunia pun sudah mulai ramah lingkungan sebut saja mulai dihentikannya penggunaan tenaga nuklir dibeberapa negara maju, keharusan ada kawasan hijau di perkotaan, pembangunan jalan raya baru yang disertai dengan penanaman pohon, dan kebijakan lainnya.

Minggu, 14 Juni 2009

Authentic Assessment sebagai Evaluasi belajar Siswa di Sekolah

Dewasa ini paradigma pendidikan di Indonesia sudah semakin berkembang dari pendekatan tradisional dimana siswa hanyalah sebagai objek pendidikan, kurang aktif di dalam prosesnya dan gurulah yang menjadi center utama dalam pembelajaran, menjadi pendekatan yang lebih modern yang berpusat kepada siswa. Dalam pendekatan ini, siswa aktif merekontruksi pengetahuan yang dimilikinya sedangkan guru hanyalah sebagai fasilitator untuk mengembangkan kemampuan.
Di dalam pendekatan tradisional, pendidikan ditekankan pada penguasaan dan manipulasi isi. Para siswa hanya menghafalkan fakta, angka, nama, tanggal tempat, dan kejadian. Dimana mereka memperlajari mata pelajaran secara terpisah satu sama lain, mereka juga hanya dilatih dengan cara yang sama untuk memperoleh kemampuan dasar menulis dan berhitung (Johnson, 2009). Siswa seolah hanya menjadi cawan penerima ilmu dari pihak luar sehingga model penilaian yang dilakukan terkesan sangat sederhana dan hanya menekankan pada aspek-aspek yang dangkal dari kognitif.
Sekarang para pakar pendidikan, orang tua, ataupun masyarakat secara luas mulai menyadari bahwa pendidikan tidaklah cukup hanya dengan model tradisional seperti itu. Mereka mulai mempertanyakan tentang manfaat sekolah terhadap siswa, apalah artinya ilmu pengetahuan yang mereka dapatkan di sekolah jika pada akhirnya tidak bisa diaplikasikan ke dalam dunia nyata atau ketika siswa dihadapkan pada masalah-masalah yang membutuhkan keterampilan tertentu untuk menyelesaikan masalah. Jika siswa hanya tau dan hafal, namun tidak bisa mengaplikasikan pengetahuan yang didapatkan untuk menyelesaikan masalah, maka fungsi pengetahuan belumlah tercapai sepenuhnya. Oleh karena itulah, paradigma pendidikan pada akhirnya sekamin bergeser kepada filosofi bahwa siswa mampu menyerap pelajaran apabila mereka menangkap maksud dalam materi akademis yang mereka terima, mampu mengkaitkan informasi baru dengan pengetahuan dan pengalaman yang sudah mereka miliki sebelumnya serta mampu mengaplikasikannya ke dalam dunia nyata.
Banyak para pakar yang mencoba merumuskan bagaimana metode yang tepat dalam pendidikan terutama yang berpusat kepada siswa. Sebut saja metode-metode seperti pembelajaran berbasis kooperatif, kolaboratif, pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran kontekstual dan model lainnya. Metode-metode tersebut dikembangkan agar siswa semakin aktif mencari dan memaknai pengetahuan dalam proses pembelajaran, dan mampu mengaplikasikan pengetahuan yang dimilikinya kedalam situasi yang lebih rill.
Faktanya sekarang, banyak sekolah yang sudah menerapkan metode pemelajaran tingkat tinggi yang mengajak siswa untuk lebih aktif mencari pengetahuan dan mengembangkannya. Siswa banyak diarahkan tidak hanya untuk berfikir analisis, tetapi juga kreatif dan mampu mengaplikasikannya ke dalam dunia nyata. Dari level paling bawah hingga universitaspun sudah mengarahkan level pembelajaran kearah yang lebih canggih. Banyak lahir sekolah-sekolah yang berwawasan teknologi (IT), sekolah akselerasi atau percepatan, sekolah internasional, montessori, home schooling, dan jenis lainnya yang tujuannya adalah untuk lebih mengoptimalkan kemampuan siswa.
Di dalam proses belajar belajar yang dilakukan di sekolah-sekolah tersebut tentu saja tidaklah terlepas dari adanya evaluasi hasil belajar. Dimana, Evaluasi menurut Tyler (1950; Arikunto, 2001) merupakan sebuah proses pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana, dalam hal apa, dan bagian mana tujuan pendidikan tercapai. Dalam arti luas evaluasi diartikan sebagai suatu proses merencanakan, memperoleh dan menyediakan informasi yang tepat untuk membuat alternatif-alternatif keputusan (Mehrens & Lehmann, 1978: Purwanto, 2006). Oleh karena itulah, evaluasi sangat dibutuhkan untuk meninjau sejauh mana metode yang digunakan efektif, dan sejauh mana siswa mampu menyerap pembelajaran yang diberikan.
Berkembangnya metode dalam pendidikan tentu saja sejalan dengan berkembangnya sistem evaluasi di dalam pendidikan dan pembelajaran itu sendiri. Namun sampai sekarang masih banyak sekolah-sekolah yang terlalu kaku dan tradisional dalam menerapkan sistem evaluasi kepada siswa. Siswa terkadang hanya dihadapkan pada sesuatu yang hanya bersifat fakta, dengan jawaban-jawaban pendek atau pertanyaan pilihan ganda. Model seperti ini, sistem evaluasi seolah terpisah dengan pembelajaran dan pengaplikasiannya pada kondisi rill.
Siswa hanya dinilai pada sejumlah tugas terbatas yang mungkin tidak sesuai dengan apa yang dikerjakan dikelas, menilai dalam situasi yang telah ditentukan sebelumnya dimana kandungannya sudah ditetapkan, seolah hanya menilai prestasi, jarang memberi sarana untuk menilai kemampuan siswa memonitor pembelajaran mereka sendiri bahkan jarang memasukan soal-soal yang menilai respon emotional terhadap pengajaran (Santrock, 2007). Hal ini pada dasarnya terlalu menyerderhanakan kapasitas siswa selaku pembelajar karena potensi-potensi yang dimiliki oleh siswa tidak mampu sepenuhnya diungkap, apalagi jika penilaian hanya terbatas pada pengungkapan aspek-aspek yang dangkal seperti pengetahuan level dasar, hanya mengandalkan memori semata atau metode penilaian yang sangat terbatas.
Pada dasarnya, suatu sistem penilaian yang baik adalah tidak hanya mengukur apa yang hendak di ukur, namun juga dimaksudkan untuk memberikan motivasi kepada siswa agar lebih bertanggungjawab atas apa yang mereka pelajari, sehingga penilaian menjadi bagian integral dari pengalaman pembelajaran dan melekatkan aktivitas autentik yang dilakukan oleh siswa yang dikenali dan distimulasi oleh kemampuan siswa untuk menciptakan atau mengaplikasikan pengetahuan yang mereka dapat di ranah yang lebih luas dari pada hanya menguji memori atau kemampuan dasar saja (Earl&Cousins, 1995; Stiggins, 1996; Hargreaves, dkk, 2001).
Oleh karena itulah, sistem evaluasi belajarpun mulai berkembang dari sistem yang bersifat tradisional menjadi sistem penilaian yang lebih autentik (authentic assessment). Autentic assessment dianggap mampu untuk lebih mengukur secara keseluruhan hasil belajar dari siswa karena penilaian ini menilai kemajuan belajar bukan melulu hasil tetapi juga proses dan dengan berbagai cara. Dengan kata lain sistem penilaian seperti ini dianggap lebih adil untuk siswa sebagai pembelajar, karena setiap jerih payah yang siswa hasilkan akan lebih dihargai (Sudrajat, 2007). Gulikers, Bastiaens & Kirschner (2004) menjelaskan bahwa authentic assesment menuntut siswa untuk menggunakan kompetensi yang sama atau mengkombinasikan pengetahuan, kemampuan, dan sikap yang dapat mereka aplikasikan pada kriteria situasi dalam kehidupan professional.
Penilaian autentik berarti mengevaluasi pengetahuan atau keahlian siswa dalam konteks yang mendekati dunia rill atau kehidupan nyata sedekat mungkin (Pokey & Siders, 2001 dalam Santrock, 2007), muncul dikarenakan penilaian tradisional yang sering kali mengabaikan konteks dunia nyata (Santrock, 2007). Penilaian autentik menantang para siswa untuk menerapkan informasi dan keterampilan baru dalam situasi nyata untuk tujuan tertentu. Penilaian ini merupakan alat bagi sekolah yang maju, yang tahu dengan jelas apa yang diharapkan dari siswa dan tahu dengan jelas bagaimana mereka mewujudkan kualitas tersebut (Sizer, 1992: Johnson, 2009). Sedangkan Johnson (2009) menjelaskan bahwa authentic assesment berfokus kepada tujuan, melibatkan pembelajaran secara langsung, mengharuskan membangun, keterkaitan dan kerja sama, dan menanamkan tingkat berfikir yang lebih tinggi, karena tugas-tugas yang diberikan di dalam penilaian autentik mengharuskan penggunaan strategi-strategi tersebut, maka para siswa bisa menunjukan penguasaannya terhadap tujuan dan kedalaman pemahamannya, dan pada saat yang bersamaan meningkatkan pemahaman dan perbaikan diri.
Penggunaan penilaian autentik sebagai evaluasi hasil pembelajaran siswa di sekolah merupakan suatu solusi yang bisa ditawarkan untuk melihat sejauh mana pembelajaran yang dilakukan berjalan dengan efektif. Di kedua sisi ini adalah sesuatu yang menguntungkan baik bagi siswa itu sendiri maupun pihak guru atau sekolah. Manfaat bagi siswa adalah dapat mengungkapkan secara total seberapa baik pemahaman materi akademik mereka, mengungkapkan dan memperkuat penguasaan kompetensi mereka, seperti mengumpulkan informasi, menggunakan sumber daya, menangani teknologi dan berfikir sistematis, menghubungkan pembelajaran dengan pengalaman mereka sendiri, dunia mereka dan masyarakat luas, mempertajam keahlian berfikir dalam tingkatan yang lebih tinggi saat mereka menganalisis, memadukan, dan mengidentifikasi masalah, menciptakan solusi dan mengikuti hubungan sebab akibat, Menerima tanggung jawab dan membuat pilihan, berhugungan dan kerja sama dengan orang lain dalam membuat tugas, dan belajar mengevaluasi tingkat prestasi sendiri (Newmann & Wehlage, 1993; Jonshon, 2009).
Sedangkan bagi guru penilaian autentik bisa menjadi tolak ukur yang komprehensif mengenai kemampuan siswa dan seberapa efektif metode yang diberikan kepada siswa bisa dijalankan. Oleh karena itulah, penerapan authentic assessment sebagai alat evaluasi hasil belajar di sekolah-sekolah ataupun level universitas penting untuk diperhatikan agar siswa tidak hanya sekedar menjadi pembelajar saja, namun pada akhirnya pencapaian prestasi diikuti dengan kemampuan mengaplikasikan kemampuan yang dimilikinya kedalam dunia nyata.

DAFTAR RUJUKAN
Arikunto, Suharsimi. (2001). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara

Azwar, Saifuddin. (2007). Tes Prestasi Fungsi dan Pengembangan Prestasi Prestasi Belajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Burley, Hansel & Price, Margaret. (2003). What Work with Authentic Assessment. Educational Horizons

Corebima, AD. (2005). Assesment Autentik. http://sman1talun.sch.id /userfiles/Slide%20-%20Autentik%20asesmen.ppt (16
Mei 2009)

Gulikers, Judth. T.M,.Bastiaens, Theo. J,. & Kirschner, Paul. A. (2004). A-Five-Dimensional Framwork Tof Authentic
Assessment. Etr. Vol. 52. No. 3. 2004

Hargreaves, A.,Earl, L,. More, S, & Manning, S. (2001). Learning to Change-Teaching Beyond Subjects and Standard. California:
Jossey Bass Inc.

Jensen, Eric. (2008). Brain-Based Learning (terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Johnson Elaine B. (2009). Contextual Teaching & Learning (terjemahan). Bandung: MLC

Lang, Choon Quek. (2006). Engaging in Project Work. Singapore: McGraw Hill

Purwanto, Ngalim. M. (2006). Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya

Santrock, John W. (2007). Psikologi Pendidikan (terjemahan). Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Sudrajat. (2007). “Gerakan” Pendekatan Kontekstual (CTL) Dalam Matematika sebuah kemajuan atau jalan di tempat?
http://rbaryans.wordpress.com/2007/07/31/%E2%80%9Cgerakan%E2%80%9D-pendekatan-kontekstual-baca-ctldalam-
matematika-sebuah-kemajuan-atau-jalan-di-tempat/ (16 Mei 2009)